Seusai maghrib seorang anak yang baru duduk di
bangku SD kelas dua bertanya pada ayahnya yang baru saja mengimaminya shalat.
”Yah, untuk apa sih kita shalat?” tanya dandi lugu. “ini kewajiban kita sebagai
orang islam nak” jawab si ayah bijak. kemudian dandi kembali bertanya sembari
melepas peci dari kepalanya “emangnya dandi orang islam yah?” sang menjawab
seraya mengangkat dandi ke atas panggkuannya “iya nak. Kan ayah dan ibu orang
islam”. “trus kalau dandi dilahirkan bukan dari ayah dan ibu yang bukan islam
gimana dong?” lanjut dandi. Kali ini sang ayah mengerenyutkan dahi memilih
jawaban yang sederhana. “kalo yang ini PR buat ayah aja deh... sekarang kita
makan yuk! Ibu kan masak enak hari ini” jawab ayah ngeles seraya membungkukkan
badan. Dandipun melompat ke punggung sang ayah bergegas pulang menyantap
hidangan yang sudah disiapkan?
SaungSantri
berbagi ilmu, berbagi rasa
Wednesday 3 April 2013
Santri kok Seksi
Matahari sudah mencelang. Sinar hangatnya menyusup dari celah-celah pentilasi
jendela, menerpa lembut wajah Asyila yang sedang sibuk memadupadankan jilbab
tipis pink yang baru dibelinya kemarin dengan setelan modis gaya anak kampus
saat ini. Sesekali matanya tertuju pada selembar halaman majalah berisi gambar
beberapa model cantik mengenakan jilbab modis dengan berbagai gaya. Tangannya
sigap menata jilbab di kepala. Ujung jilbab yang satu ia kaitkan dekat telinga
dengan sebatang jarum pentul. Ujung lainnya dia tata sedemikian rupa kemudian
dikaitkannya dengan sebuah pin berwarna cerah. Iapun berputar didepan cermin
dengan mata terus meneliti setiap ditel penampilannya, memastikan setelan yang
ia kenakan mirip dengan gaya para model cantik di majalah yang sejak setia
menemaninya berdandanria di atas meja rias. “it’s show time” ucapnya imut sambil
menjentikkan jari dan mengedipkan mata ke arah pantulan wajahnya di cermin.
Ku berlari kau terdiam ku menangis kau
tersenyum ku berduka kau bahagia ku pergi kau kembali ku coba meraih mimpi kau
coba tuk henti kan mimpi memang kita harus berpisah.
Suara serak merdu chakra khan mendayu dari BB asyila yang
tergeletak di samping majalah. Satu inbox muncul di layar Bbnya
lah siap lum syil? Aq nggu d dpn grbng yo....
Ternyata sebuah sms dari arif senior asyila
waktu mondok di NQ dulu yang kini duduk di semester 6 fakultas tarbiyah. Iapun
bergegas meninggalkan kosannya.
Wah... cantik nian dek...” rayu arif sambil
menatap Asyila dari ujung kaki sampai ujung jilbab. “cius... mi apa???” tanya
asyila imut. “mi ayam....” jawab arif mengumbar senyum. Asyilapun bergegas
menaiki fixion tunggangan arif. Celana jeans ketat membuatnya tidak kesulitan
menaiki motor gede tersebut. Arif langsung tancap menuju kampus berboncengan.
Satu kesempatan yang tidak pernah mereka temukan ketika mereka masih nyantri di
NQ dulu.
Tuesday 2 April 2013
aku bukan tahanan
Suara dzikir bergemuruh di dalam
masjid. Para santri nampak khusyuk melafadzkan asma Allah, sesekali
memanggutkan kepala sambil meniti butir-butir tasbih satu persatu. Wirid senja
itu ditutup dengan do’a dipimpin oleh ustadz fikri kemudian diakhiri dengan dua
raka’at qobliyah. Para santri berhamburan menghampiri pak ustadz berebut salam
berharap barakah. Beberapa saat setelah pak ustadz beranjak dari mihrab, seorang
mudabbir menuju mihrab membawa sehelai kertas yang sepertinya kertas da’wah.
Seorang mudabbir lainnya dengan wajah sangar menghempas-hempaskan sajadah ke
arah santri sambil menggertak “taqoddam... taqoddam...” persis penggembala bebek
yang menggiring bebek-bebeknya.
“adda’wah, tusdaru hadzihi da’wah min
qismil amni. ‘ala kaafati thalabah man dzukira......” suara bagian bahasa
lantang menggema dari speaker ke seluruh penjuru masjid. Aku dan seluruh santri
menyimak dengan seksama, khawatir jika nama kami yang disebut. “wa Ahmadi
Nejad” namaku disebut tepat diurutan terakhir. “kok nama ane dipanggil,
perasaan ane ga ngelanggar deh” gumamku bingung sambil mengingat-ingat adakah
pelanggaran yang aku lakukan hari ini.
Aku berdiri di depan pintu ruang
sidang bagian keamanan. di atas pintu menempel stiker usang bertuliskan
“RESTRICTED AREA, STAFF ONLY”. Pintu ku ketuk pelan “assalamu’alaikum....”
ucapku diikuti beberapa teman yang juga dipanggil dalam sidang bagian keamanan.
“udkhul!” jawab suara dari dalam tegas. Aku segera masuk, diikuti lima santri
lainnya. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tanganku begitu memasuki
ruangan remang-remang itu. Hanya ada bola lampu ukuran lima watt sebagai
penerangan menambah kesan angker ruangan. Di dinding yang terbuat dari triplek
menempel dua lembar grafik usang. Di bawahnya ada dua buah lemari. Di atasnya
ada tumpukan piring kotor berisi nasi yang sudah berjamur. Tak jauh dari lemari
seorang mudabbir bagian keamanan berdiri tegap. Postur tubuhnya tinggi,
kulitnya hitam dengan rambut pendek ikal. Terpaan cahaya lampu membuat wajahnya
semakin seram. Tangannya menggenggam kamus setebal tiga senti. Aku baru tahu
mengapa teman-teman memanggil ruangan ini kandang gorila. Kami berbaris di
depan “gorila”, semua santri menunduk, tak ada satupun yang berani menatap sang
mudabbir. Keringat semakin deras mengalir. Perlahan dia mendekatiku “kenapa lu
kabur?” tanyanya sangar. “ane gak kab.....” belum sempat aku menjelaskan,
“plak... plak.....” kamus setebal tiga senti mendarat deras di pipiku.
Telingaku terasa panas, pipiku terasa tebal. “jangan bohong ente! Ngaku aja!”
bentak mudabbir sambil mendorongku ke tembok. Jantungku berdetak tak beraturan,
aku berusaha menjelaskan “ane gak kabur ka, ane disuruh sama ustadz.....”.
“brak... plak.... plak....” sang gorila menghujaniku dengan pukulan dan
tamparan. Dadaku sesak, tatapanku kabur, semakin kabur, buram, gelap. aku
pingsan.
(Cerpen Aku Bukan Tahanan, Abi Maheer. 2013)
Subscribe to:
Posts (Atom)