Suara dzikir bergemuruh di dalam
masjid. Para santri nampak khusyuk melafadzkan asma Allah, sesekali
memanggutkan kepala sambil meniti butir-butir tasbih satu persatu. Wirid senja
itu ditutup dengan do’a dipimpin oleh ustadz fikri kemudian diakhiri dengan dua
raka’at qobliyah. Para santri berhamburan menghampiri pak ustadz berebut salam
berharap barakah. Beberapa saat setelah pak ustadz beranjak dari mihrab, seorang
mudabbir menuju mihrab membawa sehelai kertas yang sepertinya kertas da’wah.
Seorang mudabbir lainnya dengan wajah sangar menghempas-hempaskan sajadah ke
arah santri sambil menggertak “taqoddam... taqoddam...” persis penggembala bebek
yang menggiring bebek-bebeknya.
“adda’wah, tusdaru hadzihi da’wah min
qismil amni. ‘ala kaafati thalabah man dzukira......” suara bagian bahasa
lantang menggema dari speaker ke seluruh penjuru masjid. Aku dan seluruh santri
menyimak dengan seksama, khawatir jika nama kami yang disebut. “wa Ahmadi
Nejad” namaku disebut tepat diurutan terakhir. “kok nama ane dipanggil,
perasaan ane ga ngelanggar deh” gumamku bingung sambil mengingat-ingat adakah
pelanggaran yang aku lakukan hari ini.
Aku berdiri di depan pintu ruang
sidang bagian keamanan. di atas pintu menempel stiker usang bertuliskan
“RESTRICTED AREA, STAFF ONLY”. Pintu ku ketuk pelan “assalamu’alaikum....”
ucapku diikuti beberapa teman yang juga dipanggil dalam sidang bagian keamanan.
“udkhul!” jawab suara dari dalam tegas. Aku segera masuk, diikuti lima santri
lainnya. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tanganku begitu memasuki
ruangan remang-remang itu. Hanya ada bola lampu ukuran lima watt sebagai
penerangan menambah kesan angker ruangan. Di dinding yang terbuat dari triplek
menempel dua lembar grafik usang. Di bawahnya ada dua buah lemari. Di atasnya
ada tumpukan piring kotor berisi nasi yang sudah berjamur. Tak jauh dari lemari
seorang mudabbir bagian keamanan berdiri tegap. Postur tubuhnya tinggi,
kulitnya hitam dengan rambut pendek ikal. Terpaan cahaya lampu membuat wajahnya
semakin seram. Tangannya menggenggam kamus setebal tiga senti. Aku baru tahu
mengapa teman-teman memanggil ruangan ini kandang gorila. Kami berbaris di
depan “gorila”, semua santri menunduk, tak ada satupun yang berani menatap sang
mudabbir. Keringat semakin deras mengalir. Perlahan dia mendekatiku “kenapa lu
kabur?” tanyanya sangar. “ane gak kab.....” belum sempat aku menjelaskan,
“plak... plak.....” kamus setebal tiga senti mendarat deras di pipiku.
Telingaku terasa panas, pipiku terasa tebal. “jangan bohong ente! Ngaku aja!”
bentak mudabbir sambil mendorongku ke tembok. Jantungku berdetak tak beraturan,
aku berusaha menjelaskan “ane gak kabur ka, ane disuruh sama ustadz.....”.
“brak... plak.... plak....” sang gorila menghujaniku dengan pukulan dan
tamparan. Dadaku sesak, tatapanku kabur, semakin kabur, buram, gelap. aku
pingsan.
(Cerpen Aku Bukan Tahanan, Abi Maheer. 2013)
No comments:
Post a Comment