Tuesday 2 April 2013

aku bukan tahanan

Suara dzikir bergemuruh di dalam masjid. Para santri nampak khusyuk melafadzkan asma Allah, sesekali memanggutkan kepala sambil meniti butir-butir tasbih satu persatu. Wirid senja itu ditutup dengan do’a dipimpin oleh ustadz fikri kemudian diakhiri dengan dua raka’at qobliyah. Para santri berhamburan menghampiri pak ustadz berebut salam berharap barakah. Beberapa saat setelah pak ustadz beranjak dari mihrab, seorang mudabbir menuju mihrab membawa sehelai kertas yang sepertinya kertas da’wah. Seorang mudabbir lainnya dengan wajah sangar menghempas-hempaskan sajadah ke arah santri sambil menggertak “taqoddam... taqoddam...” persis penggembala bebek yang menggiring bebek-bebeknya.

“adda’wah, tusdaru hadzihi da’wah min qismil amni. ‘ala kaafati thalabah man dzukira......” suara bagian bahasa lantang menggema dari speaker ke seluruh penjuru masjid. Aku dan seluruh santri menyimak dengan seksama, khawatir jika nama kami yang disebut. “wa Ahmadi Nejad” namaku disebut tepat diurutan terakhir. “kok nama ane dipanggil, perasaan ane ga ngelanggar deh” gumamku bingung sambil mengingat-ingat adakah pelanggaran yang aku lakukan hari ini.

Aku berdiri di depan pintu ruang sidang bagian keamanan. di atas pintu menempel stiker usang bertuliskan “RESTRICTED AREA, STAFF ONLY”. Pintu ku ketuk pelan “assalamu’alaikum....” ucapku diikuti beberapa teman yang juga dipanggil dalam sidang bagian keamanan. “udkhul!” jawab suara dari dalam tegas. Aku segera masuk, diikuti lima santri lainnya. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tanganku begitu memasuki ruangan remang-remang itu. Hanya ada bola lampu ukuran lima watt sebagai penerangan menambah kesan angker ruangan. Di dinding yang terbuat dari triplek menempel dua lembar grafik usang. Di bawahnya ada dua buah lemari. Di atasnya ada tumpukan piring kotor berisi nasi yang sudah berjamur. Tak jauh dari lemari seorang mudabbir bagian keamanan berdiri tegap. Postur tubuhnya tinggi, kulitnya hitam dengan rambut pendek ikal. Terpaan cahaya lampu membuat wajahnya semakin seram. Tangannya menggenggam kamus setebal tiga senti. Aku baru tahu mengapa teman-teman memanggil ruangan ini kandang gorila. Kami berbaris di depan “gorila”, semua santri menunduk, tak ada satupun yang berani menatap sang mudabbir. Keringat semakin deras mengalir. Perlahan dia mendekatiku “kenapa lu kabur?” tanyanya sangar. “ane gak kab.....” belum sempat aku menjelaskan, “plak... plak.....” kamus setebal tiga senti mendarat deras di pipiku. Telingaku terasa panas, pipiku terasa tebal. “jangan bohong ente! Ngaku aja!” bentak mudabbir sambil mendorongku ke tembok. Jantungku berdetak tak beraturan, aku berusaha menjelaskan “ane gak kabur ka, ane disuruh sama ustadz.....”. “brak... plak.... plak....” sang gorila menghujaniku dengan pukulan dan tamparan. Dadaku sesak, tatapanku kabur, semakin kabur, buram, gelap. aku pingsan.
(Cerpen Aku Bukan Tahanan, Abi Maheer. 2013)

No comments:

Post a Comment